Rabu, 11 Februari 2009

TEPUK TANGAN SENDIRIAN

....
Saya enggak nyangka kalimat tanya 'kamu kangen nggak ke saya ?' yang saya lontarkan waktu itu di telepon ditanggapinya dengan dingin dan tak berperikemanusiaan olehnya. Saya jadi malu sendiri waktu itu. Kemudian seminggu kemudian saya menembaknya (katakana ‘cinta’) di kampus, dan dia ternyata memang menolak saya. Katanya dia suka saya karena lucu saja, lebih baik temenan saja. Itulah pengalaman pertama saya ditolak cewek yang bener-bener saya taksir serius sewaktu kuliahan dulu.
Kejadiannya adalah pada saat jaman-jamannya demonstrasi reformasi dulu, tepatnya pasca reformasi, setelah tahun ajaran baru telah berjalan tiga bulanan. Sebagai aktivis kampus saya bertugas sebagai keamanan waktu demo keluar kampus tepatnya ke gedung sate. Sepulang dari gedung sate, semua peserta demo balik lagi ke kampus jalan kaki. Eh, hujan rintik-rintik mendadak turun mengiringi kepulangan anak-anak ke kampus. Kebanyakan peserta demo waktu itu adalah mahasiswa-mahasiswa baru. Termasuk mahasiswinya. Kalau nggak salah hari itu hari sabtu, saya lupa lagi tuntutan apa yang dilontarkan kami waktu itu. Yang jelas di gedung sate hanya ada pendemo dari kampus kami saja.
Meskipun hujan rintik-rintik, tetap saja kami menggunakan cara jalan kaki untuk nyampe ke kampus, tujuannya jelas biar-orang-orang di perjalanan pada tahu kami berdemo dan tuntutan jadi tersosialisasikan. Buktinya kami berjalan nggak di trotoar tetapi di setengah badan jalan. Keadaan ini jelas membahayakan kami, karena di jalanan banyak kendaraan berlalu lalang. Maka dari itulah, kami termasuk saya sebagai senior bertugas mengamankan kendaraan yang lalu lalang sambil mengawasi anak-anak mahasiswa baru. Saya bareng seorang teman berjalan paling belakang. Rombongan kami saat itu kira-kira berjumlah tiga puluh orang. Sebagian sudah pada cabut ke kampus duluan pakai angkot.
Mata saya tertuju ke serombongan adik kelas cewek di depan saya. Enggak serombongan ding, tapi tiga orang cewek yang rela berhujan-hujanan sambil jalan kaki menuju kampus. Saya nggak begitu memperhatikan wajah mereka karena berjalan di belakang mereka. Salah seorang diantaranya memakai tas gendong dan di dalamnya menyempil sebuah payung. Di sisi lainnya ada kertas gambar tergulung rapi berpelastik bening. Iseng saya dekati mereka.
"Kok, payungnya nggak dipakai ?" suara saya di belakang mengagetkan si cewek itu.
"Enggak apa-apa kang, nggak terlalu besar kok hujannya" jawab si cewek itu hampir tanpa menoleh.
"Eh, entar sakit lho, lebih baik pake aja !" saran saya lagi. Si cewek bertas gendong itu sedikit menoleh, eh manis juga wajahnya, asli !
"Biarin ah udah dekat ini..." jawabnya, suaranya agak-agak manja.
"Kalau gitu, saya pinjem deh..."kumat iseng saya.
"Boleh..." sahutnya, berhenti dari rombongan bertiga itu. Dua temannya terus melaju, sementara dia sibuk membuka tasnya mau ngambil payung. Sementara saya dan temen saya tadi menunggu payung tersebut dikasihkan. Dia berikan payungnya kepada saya, dan berlari menyusul teman-temannya yang udah duluan. Akhirnya saya berpayung berduaan teman aya tadi, Oyo. Belum lama berjalan , Oyo, udah kecepean. Dia akhirnya milih mau naik angkot. Yeee, saya jadi sendirian.
Lalu saya nyusul si cewek pemberi pinjam payung tadi, dan iseng lagi memayungi mereka bertiga dari belakangnya. Si bertiga kaget dan senyam-senyum saja. Dan Entah bagaimana ceritanya saya sudah berpayung berduaan dengan si pemilik payung yang punya senyum paling manis tadi. Padahal hujan rintik rintik hanya tinggal ekornya saja. Kami berdua sudah tertinggal di belakang, sambil berpayung. Saya lupa bahwa itu sepulang demonstrasi.
Dan kemudian saya tahu nama cewek manis tersebut. Ternyata dia penyuka musik seperti saya. Obrolan kami nyambung terus sejak awal sampai akhir. Dia masuk organisasi kampus yang sama dengan saya. Ceritanya saya bakalan jadi seniornya,. Benih-benih suka mulai menjalari darah saya. Wajahnya putih, rambut dipotong pendek, pipi agak tembem, tubuhnya lebih dari kurus, montok mirip dewi sandra, katakanlah. Kami berjalan terus berdua berpayung menuju kampus yang tinggal satu kilometeran lagi. Beberapa ada yang melihat kami dengan irinya. Aku tak acuh saja. Sialnya kampus sudah dekat, dan kami harus berpisah. Namun saya waktu itu tidak berhasil mendapatkan beberapa angka untuk dipencet di telepon.
Banyak petunjuk ke arah nomor telepon. Namun saat itu saya harus sudah pulang ke rumah kosan. Saya sempat melihatnya dari bis kota, dia sedang bercanda dengan teman-temannya. Tiba-tiba saja semangat ngampus saya begitu meledak-ledaknya. Ingin segera hari senin lagi untuk nyari informasi banyak tentang dia. Wuihh, indah hari ini !
**
....
Hari senin yang dinantikan telah tiba. Tapi saya tidak berhasil menemukannya, karena jadwal kuliah dan praktek yang agak padat. Saya pergi ke ruang sekertariat musik membongkar-bongkar dokumen anggota baru klub musik. Di dekat ruang musik ada semacam cafe kecil yang dikelola temen-temen seangkatan beda jurusan. Saya mengenal baik mereka. Tak saya ceritakan tujuan saya nyari-nyari dokumen tersebut. Akhirnya dengan bersusah payah saya dapatkan data-data si manis, tentunya including nomor telepon.
Saya masih merahasiakan penemuan saya ini kepada teman-teman dekat saya. Saya masih senang menyimpannya sendirian dan merenunginya. Nanti malam akan saya kasih surprise dia, begitu niat di dalam hati. Hari ini biarlah dihabiskan untuk berkuliah dan berpraktek. Sampai sore saya memang tidak berhasil menemukan wajah manis tersebut.
Malamnya, seperti yang direncanakan, saya mengagetkannya dengan meneleponnya. Dia tampaknya heran dari mana saya dapat nomor teleponnya. Saya bilang saja saya serba bisa, informasi bisa mudah didapatkan di jaman internet ini. Kami ngobrol lama, cool ! dia memang enak sekali diajak ngobrol. Buntut-buntutnya pulsa telepon di tempat kosan meninggi drastis. Hampir satu jam saya meneleponnya sekedar ingin mengenal pribadinya. Tentu saja belum ada pembicaraan yang nyerempet-nyerempet. Masih tahap penjajakan.
Besoknya saya nyari-nyari dia lagi di kampus, kangen lihat wajahnya. Saya menemukannya. Tapi berhubung dia sering jalan bareng teman-temannya, saya nggak berani untuk menyapanya. Yang ada saya malah pura-pura nggak melihatnya, dan berharap dia melihat saya. Jadi ingat kata Didin teman saya, lebih baik si cewek yang melihat kita daripada kita yang ngelihat dia tapi kitanya nggak berani. Entah apa maksudnya, yang jelas itulah yang saya lakukan saat itu.
Hari-hari selanjutnya memang kejadian seperti itulah yang harus saya alami. Saya nggak pernah berani untuk menyapanya. Kadang-kadang dia sedang digoda-goda oleh senior-seniornya, bikin saya bete. Saya cuma berani menatapnya dari jauhan saja. Padahal saya inginsekali menyapanya, mengajaknya ngobrol lagi seperti di telpon, dekat banget. Tapi keberanian saya nggak pernah muncul manakala dia sedang bersama orang-orang di sekitarnya. Gaya saya yang kayak detektif ini begitu menyulitkan posisi saya untuk mendekatinya. Memang saya pernah berpapasan dengannya, tapi yang ada adalah hanya senyuman saja. Keburu degdegan tak menentu dada saya. Kemudian diva itu berlalu bersama teman-temannya.
Seminggu kemudian saya meneleponnya lagi malam-malam, ngobrol lama, dan bilang ingin ketemuan. Dia setuju saja selama ketemuannya di kampus, tapi kami nggak janji. Semalaman saya berdoa biar besok bisa ketemuan berdua saja. Besoknya yang saya temui adalah dia selalu bareng teman-temannya. Sial lagi, saya nggak berani untuk menyapanya. Perasaan ini sudah tidak menentu. Ditegar-tegarkan, lalu saya pulang ke kosan. Saya masih melihatnya waktu itu dia sedang berada di sekitar beberapa seniornya.
Suatu ketika ada acara di kampus, seminar foto. Bela-belain nggak kuliah saya mendatangi acara tersebut , karena selain gratis saya memang senang memoto dikit-dikit. Tanpa sengaja saya melihat dia dan temannya di deretan kursi agak belakang. Kesempatan. Saya sengaja duduk di belakangnya. memberanikan diri menyapanya. Eh, dia menoleh. Di tengah seminar foto tersebut saya memuaskan keinginan terpendam saya yakni ngobrol face to face dengannya, meskipun ada orang ketiga yakni temannya tersebut. Kebetulan saya nulis catatan seminar di buku lagu yang sering saya bawa kemana-mana. Sebagai anggota band pengusung lagu-lagu empat puluh saya memang harus membawa kemana-mana teks lagu. Dia tertarik dengan buku laguku. dan akhirnya karena pada dasarnya dia senang lagu dan musik buku itu dengan rela saya pinjamkan kepadanya. Yes, saya ingin berteriak rasanya. Sepertinya jalan ke arah itu semakin mulus. Dia juga bersikap ramah kepada saya, seperti ngasih peluang.
(Tapi curi-curi dengar tadi dari obrolan dia dengan temannya, mereka sedang menunggu seseorang, seseorang senior, saya nggak tahu siapa, wah apa saya punya saingan?)
Minggu depannya sehabis kuliahan, waktu lagi nongkrong di koperasi dekat ruang sema, saya bertemu dengannya lagi. Dia menyerahkan buku lagu milik saya tersebut. Terima kasih katanya. Beberapa temannya katanya juga memfotokofi beberapa teks di lagu tersebut. Karena ada temannya saya tidak berani lagi untuk ngobrol dengannya, juga ada beberapa teman saya di sekitar saya. Saya terlalu malu dengan situasi seperti ini. Kemudian saya malahan nongkrong di sema sambil memendam rasa berdegup-degup.
**
....
Pada suatu waktu, saya ketemu lagi sama dia, dia menawarkan untuk menuliskan beberapa teks lagu kepada saya. Saya jelas setuju banget. Saya juga bilang ada beberapa teks lagu yang baru saya tulis. Buku itu saya pinjamkan untuk yang kedua kalinya. Dan besoknya suadah dia balikin lagi. Didalamnya dituliskan dua teks lagu baru lengkap dengan chordnya (kayaknya dia ngambil dari majalah remaja). Tulisannya bagus man ! rapi kemudian ada tanda tangan dia yang unik. Beberapa catatan saya diberinya komentar lucu. Wah, apa yang sedang terjadi nih ? Saya makin pede saja sejak saat itu.
Tapi, tapi saya tetap saja belum berani untuk mengajaknya ngobrol di tengah ramai orang-orang kampus. Hanya di telepon saja kami agak deket. Saya pernah mengajaknya untuk nonton bareng. Dia oke, lalu kami janjian untuk ketemuan. Di tempat yang ditentukan saya menunggu dia. Sampai habis waktu, nggak datang juga anak itu. Agak kesel saya. Semalam dia memang bilang kalau memungkinkan dan saya enggak bisa memaksanya. Padahal saya sebelumnya melihat dia sedang ngobrol dengan seorang senior. Waktu itu saya nggak berani mengajaknya. Saya tunggu dia di tempat netral berdasarkan kesepakatan. Dan seperti yang diceritakan tadi saya masih harus menelan bete ini sendirian.
Beberapa janji dengannya kemudian dia batalkan dengan sepihak. Tapi saya benar-benar nggak bisa memaksanya. Saya siapanya sih? Tapi saya masih berani untuk mengobrol dengannya barang seminggu sekali. Kali ini ngobrolnya dia lebih banyak defend, sayapun lama-lama merasa hambar, jadi malu sendiri. Ada apa sih?
Yang kemudian saya tahu adalah saya menemukannya di suatu acara musik di kampus di mana band saya yang belum bersinar manggung di dalamnya. Saya sumanget sekali manggung dengan band yang baru saja dibentuk itu. Biar bisa ketahuan di depan dia bahwa saya itu pemusik kampus, biar dia tahu saya gaul abis. Dan dengan penuh perasaan band saya memang main diawal-awal acara, karena band baru. Tapi saya bangga banget waktu itu. dalam benak saya dia sedang memperhatikan saya. Kebetulan kami menyanyikan lagu favoritnya.
Usai manggung saya bergabung dengan teman-teman sekelas di meja yang dibikin dengan gaya kafe itu. Bercanda-canda melihat para penampil selanjutnya. Tapi hati saya resah terus, mata melayang-layang mencari bayangannya di tengah keramaian acara. Eh, ada yang jual bunga. Beberapa panitia kreatif memang menjual bunga cantik. Beberapa yang tertipu ada yang beli kemudian diantarkan ke seseorang yang ditaksirnya. Katakan dengan bunga masih saja ada yang menggemarinya.
Di meja sebelah kiri saya menemukan diva itu. Bercengkrama bersama teman-temannya sambil menonton band. Wah pasti dia tadi melihat penampilan saya, batin saya senang. Saya masih ragu-ragu untuk menghampirinya di tengah keremangan, ketika seseorang memberinya bunga. Hah, siapa itu? ternyata seorang senior telah lebih dulu menghampiri bola. Senior yang waktu seminar foto dia tunggu-tunggu. Senior, teman saya juga lain jurusan. Pantesan belakangan dia tak mood ngobrol denganku, rupanya sedang menjaga perasaanya. Konon diva itu lebih suka duluan ke senior itu sebelum bertemu saya. Remuk, itulah yang ada. Sedikit tak percaya dengan penglihatan mata saya. Kok saya nggak menyadarinya sih. Dan memang itulah yang terjadi. Dia dan senior itu sudah duduk mengobrol berdua di suatu sudut tanpa menyadari sepasang bola mata sedang sendu menatapnya.
Sebelum acara itu usai saya sudah memutuskan untuk pulang ke kosan. Acara yang dikemas menarik itu bagi saya adalah sebuah neraka. Terngiang-ngiang terus di telinga saya lagu yang kami nyanyikan tadi, iris-nya googoodolls, saya nggak ngerti banyak liriknya, tapi menurut perasaan lagu itulah yang cocok bagi saya saat itu. Saya pulang sendirian ke kosan, padahal berangkatnya bareng teman sekos tadi sore. Tidur dan kecewa kayaknya baik bagi saya.
.....
And I don't want the world to see me
'Cause I don't think that they'd understand
When everything's made to be broken
I just want you to know who I am
.......
(nb: dalam acara itu saya termasuk salah seorang panitianya, saya bela-belain minjem baju batik sutera punyanya bapak teman saya, meskipun bawahnya adalah celana jeans robek di lutut he he he )
**
....
Pekan depannya saya nggak begitu bersemangat ke kampus. Kuliahpun saya jalani dengan malas-malas. Ekstrimnya, buat apa saya kuliah kalau hanya untuk merasakan suatu penderitaan saja. Ya, karena saya sering melihat dia berduaan ngobrol mesra dengan si senior sialan itu. Dan lebih betenya lagi, dia kini sering pura-pura nggak melihat saya bila berpapasan. Tapi saya harus tabah menjalaninya.
Dan ternyata memang pada hari acara band itu si senior telah menembaknya dengan bunga dan dia dengan sukacita menerimanya. Ceritanya mereka sudah jadian habis. Si senior memang dapat dukungan penuh dari lingkungan sekitarnya baik dari teman-temannya maupun dari teman si cewek. Ternyata pdktnya lebih dahsyat dari yang saya lakukan.
Sekarang di mana-mana pasti saya melihat si diva berduaan dengan si senior. Dan saya juga merasa lebih baik untuk menghindarinya. Menjauhinya sejauh mungkin. Merem, kalau perlu bila secara tak sengaja mata ini melihatnya baik si diva maupun si senior. Saya kini sibuk di band sesibuk-sibuknya. Dan dua sejoli itu juga sepertinya cuek saja jalan terus.
(nb2 : Ternyata si senior juga sudah tahu bahwa saya juga mengincar si diva, ketika saya dan si senior ngobrol di suatu tempat. Dia minta saya memakluminya, dan saya juga minta maaf karena nggak tahu. Saya juga menelepon si diva terakhir kalinya dengan menguat-nguatkan hati. Memberinya selamat karena jadian dengan teman saya sendiri. Dengan berbasa-basi saya memuji-muji si senior, biar dia simpatik pada saya. Padahal dalam hati kecil saya masih menyukai diva itu. Apakah saya boleh jadi daftar tunggu ?)

Tidak ada komentar: