Rabu, 11 Februari 2009

BERSAMA SUNYI

Sunyi ini sudah kubangun dengan susah payah semenjak aku kuliah tingkat pertama. Bersama beberapa teman yang menyukai kesunyian. Entah kenapa itulah yang paling cocok buat kami saat itu. Sesuatu yang menurutku sangat sederhana dan biasa. Tetapi dibalik itu ada semacam semangat yang hanya aku dapat merasakannya.
Bersama sunyi aku melanglang se antero kota, memainkan sunyi, memerankan sunyi, dan menyuarakan sunyi meski agak sulit pada awalnya. Namun kini kami sudah terbiasa. sunyi pula yang mengenalkan aku pada seseorang pecinta kesunyian. Seorang wanita. Dia bilang bahwa dia menyukai sunyi-sunyi kami. Menyukai cara kami, terutama cara aku membawakan kesunyian sambil memainkan gitar. Akupun diam-diam mulai menyukainya, karena di matanya aku melihat kesunyian yang lain.
Diapun kadang-kadang ikut bersama kami berkeliling kota. Menyuarakan sunyi dari satu panggung ke panggung lain, dari cafe ke cafe, dan dari pesta sekolahan-ke pesta sekolahan yang lain. Dia memang tidak menampakkan diri seperti kami. Dia tetap saja sebuah sunyi yang sunyi. Tapi kami merasakannya adanya dia di manapun kami berada.
Bila tidak sedang bersama teman-teman, aku selalu menyempatkan bermain ke tempat kosnya di sebuah awan putih di langit sore. Duduk-duduk di bawah pohon sambil memandang ke bawah, melihat orang-orang berjalan, mobil-mobil melaju, dan atap-atap rumah yang kelihatan kecil sekali. Kami biasa ngobrol sampai adzan magrib bergema dari masjid yang terletak di langit pertama. Sesudah itu aku pulang ke tempat kos ku di sebuah puncak gunung.
Aku harus dua kali naik angin dingin untuk sampai di sana, dan waktu-waktu seperti itu angin jarang lewat untuk menarik penumpang. Angin dingin biasanya hanya sampai menjelang magrib. Malahan kadang-kadang bila penumpang tinggal seorang , aku sering diturunkan di tengah perjalanan, karena angin dingin beralasan harus segera pulang. Akupun mau tak mau harus turun dan segera menyetop angin dingin lain arah meskipun jalannya harus memutar ke tempat lain.
Suatu ketika aku pernah diturunkan angin dingin di suatu tempat yang aku sendiri tak mengenalnya. Aku yang belum tahu peraturannya protes berat pada angin dingin. aku membujuk angin agar ditepikan pada tujuanku meskipun harus membayar uang tambahan. Tapi angin dingin bersikeras, malahan berkata tidak usah bayar saja. Akupun menyerah dan mencatat peraturan itu di dalam sebuah cahaya lampu merkuri. Malam itu aku pulang berjalan kaki sampai menemukan angin dingin yang masih berbaik hati mengantarkan para penumpang sunyi seperti aku.
Dan malamnya, kalau tidak megerjakan tugas kuliah, aku sering mendengarkan sunyi dari radio kecilku, membiarkannya bersunyi sampai fajar tiba. Aku kos sendirian di puncak gunung ini, sehingga hanya sunyi dari radiolah yang mungkin dapat membangunkanku, menyadarkanku untuk segera menghadapi kesunyian hari-hari berikutnya
*****
Aku tingkat akhir sekarang, menuju skripsi. Begitupun teman-temanku. Tapi kami tidak terpengaruh dengan tugas akhir. bagi kami sunyi adalah nomor satu, nomor dua juga sunyi, nomor tiga sunyi juga , semua nomor yang ada adalah untuk sunyi. Pikir kami buat apa hal yang lain dikerjakan dengan serius kalau akhirnya kami akan kembali pada sunyi juga. Makanya kami tak begitu peduli dengan tugas akhir. Kami tinggal menyontek dari orang lain atau menyuruh seseorang yang sangat bego untuk mengerjakannya.
Ketika aku dan teman-temanku membisikkan kesunyian untuk pertama kalinya di suatu acara kampus, kami dicemooh semua orang. Kata-kata makian, hinaan, atau malah jorok kami terima saat itu. Sunyi memang sesuatu yang tidak populer bagi sebagian orang. Kami rasa hanya kamilah saat itu yang nekad memilih kesunyian di atas panggung yang hingar bingar, yang penuh dengan efek-efek bintang dan asap dry ice. Semua penonton meneriaki kami, dan bahkan beberapa panitia mengganggu kami dengan mengacaukan tata suara, sehingga sunyi kami terdengar tinggi rendah. Kami disuruh behenti dan turun sebelum waktunya. Kami terus saja memainkan sunyi kami sampai selesai.
Biasanya seusai manggung panitia memberi sekedar konsumsi untuk penampil, tapi saat itu kami tidak mendapatkannya, panitia mendiskriminasi kami, kami tak diacuhkan mereka. Kamipun sebenarnya tak mengharapkannya, bagi kami bisa memainkan sunyi di atas panggung sudah lebih dari cukup. Seusai tampil, kami biasa berkumpul di tempat kos salah seorang dari kami untuk mendiskusikan kesunyian kami hari itu. Tempat kos teman kami yang terdekat ke kampus biasanya adalah dasar bumi dekat magma. Disanalah kami berkumpul dan pulas di lantai berkarpet plastik tipis.
Kesunyian kami tak pernah patah arangnya. Kami selalu berlatih agar kesunyian ini bisa benar-benar kami rasakan. Kalau sedang sendirianpun aku berlatih. Bila ada ide melintas malahan bisa tercipta suatu kesunyian yang indah. Kesunyian yang sesungguhnya. Mendekati ketiadaan. Tetapi ketiadaan terlalu tinggi. Tidak sembarang orang sampai pada ketiadaan. Mungkin kalau sudah seribu tahun memilih kesunyian kami baru bisa sampai pada ketiadaan, itupun baru pengenalannya. Ketiadaan adalah mimpi kami. Saat ini kenyataan kami adalah kesunyian.
Kami semua telah bisa menciptakan kesunyian walaupun sederhana. Kami lebih bangga dengan kesunyian kami yang sederhana. Kesunyian sehari-hari. Kesunyian seorang ibu. Kesunyian seorang pedagang kaki lima. Kesunyian mahasiswa kos. Kesunyian matahari. Kesunyian warna sore. Kesunyian waktu.
Kami terus berlatih dan manggung dari tempat ke tempat, sampai kami tak gugup lagi di atas panggung dan sudah tak peduli dengan para penonton pembenci kesunyian. Pernah suatu ketika ada sekelompok penonton yang begitu bencinya pada sunyi milik kami sehingga mereka membawa nuklir untuk memusnahkan kami. Kami di bom nuklir saat itu, untunglah tidak ada cedera yang berarti untuk kami, hanya seorang teman saya terkena di jidatnya, sedikit berdarah dan ia cuma tersenyum. Para penonton iseng itu diamankan panitia.
Lambat-laun kamipun mulai dikenal sebagai pembawa kesunyian. Beberapa orang ada yang ikut tergila-gila pada kesunyian. Beberapa ada yang menangis begitu mendengar kesunyian yang kami lantunkan. Tapi kami tetap seja seorang sunyi. Hal-hal di luar kami bukan urusan kami. Kesunyian kami tak terpengaruh oleh apapun. Kami masih senang ketika membawakan sunyi di kampus kami. Dan masih tetap harus repot-repot mendaftar ke panitia acara agar kami bisa tampil untuk sebuah kesunyian.
***
Sebulan sekali aku pulang ke kampung halamanku, di suatu tempat di balik matahari . Aku harus naik cahaya matahari, karena itulah satu-satunya yang mungkin Berangkat saat shubuh , naik cahaya matahari pertama yang masih hangat. Penumpang cahaya matahari pertama belum begitu banyak, sehingga kesegaran dapat kurasakan. Aku memang sangat menyukai cahaya matahari pertama ini. Kemanapun pergi selalu kuusahakan naik cahaya matahari pertama.
Kembali dari suatu tempat di balik matahari biasanya selepas ashar besoknya. Aku naik cahaya matahari yang sudah memudar. Meskipun memudar aku tetap menyenanginya, karena aku melihat kesunyian yang teguh di dalamnya. Setiap jarak yang ditempuhnya tak lengah kuperhatikan. Aku yakin cahaya matahari yang sudah memudar, dulunya ketika masih mudanya adalah seorang pecinta sunyi seperti aku. Aku tidak mampu melihat tandanya karena sudah begitu pudarnya, tapi aku dapat merasakannya.
***

Tidak ada komentar: