Senin, 23 Agustus 2010

bulan puasa 80-an (di garut, di pasundan), 3

belajar puasa semenjak sekolah di tk. bahkan sebelum sekolah juga sudah diperkenalkan dengan momen puasa. bapak dan ibu membangunkan saya yang belum lima tahun untuk ikutan sahur. didudukkannya saya di atas meja makan. mata masih mengantuk berat tapi ibu menyuapi saya makanan antara ingatan yang jelas dan samar-samar.

tapi benar-benar mulai puasa ketika tk itu. hebatnya, hanya batal satu hari. entah karena kuat atau memang orang tua dan lingkungan mengkondidikan demikian. bulan puasa yang sebulan itu diisi dengan kegitan yang terasa sama sekali baru karena otak saya mulai bisa menangkap makna ramadhan meskipun keriaannya saja. nawaitu sauma godin dan alohumma lakasumtu sudah hapal di luar kepala meskipun baca qur'an masih terbata-bata. semenjak shubuh hinggga magrib bisa dilewati dengan sukses tanpa makan minum.

sesekali menangis kalau digoda sepupu.

"kalau nangis puasanya batal ...", kata mereka yang usianya sebenarnya tak terpaut jauh. makanya nangisnya cuma sebentar meskipun masih diliputi tanya apakah memang benar nangis membatalkan puasa. akhirnya waktu itu saya mendapat jawaban sederhana yakni bahwa dengan menangis akan mengeluarkan air mata yang kalau kena bibir akan terasa asinnya. jadilah puasanya batal.

bulan puasa juga ditandai dengan lengangnya jalanan depan rumah di siang hari. tukang-tukang jualan makanan sebangsa mang pe'i atau mang ijun menghilang entah ke mana. begitu pula mang aman tukang bubur ayam yang biasanya setiap pagi nongkrong di depan warung bi atih.

nuansanya memang jadi berbeda dengan bulan-bulan lainnya. apalagi sekolah memang diliburkan sebulan penuh. praktis waktu banyak luangnya. untunglah paman kami membuka taman bacaan sehingga kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca komik-komik di taman bacaan tersebut emskipun sebenarnya hanya melihat gambarnya saja. dari segunung komik yang ada di sna maka komik hero semacam godam, gundala, dan labah-labah merah adalah menu wajib yang tak bosan diulang-ulang.

***

malamnya, seperti biasa sholat taraweh berjamaah di aula gedung pgri. oh, ya di bulan ramadhan ini acara ngaji yang biasa dilaksanakan setiap habis magrib di rumah mang ojo cakrabuana ditiadakan. katanya selama bulan ramadhan diliburkan. gantinya memang pesantren kilat itu. namund emikian panitia mengaji di mang ojo dan panitia pesantren kilat berbeda. jadi kalau mau pesantren kilat boleh, tidakpun tidak apa-apa. dan saya memilih ikut pesantren kilat karena semua sepupu ikutan pula.

awalnya saya rada heran dengan pelaksanaan shalat taraweh ini karena rakaatnya panjang sekali.

"masih lama ya pa..?", tanya saya yang shalat di dekat bapak.

"sebentar lagi...!"

maka saya berdiri lagi setelah imam mengucakan salam. bapak sengaja mengajak sya shalat di dekatnya agar saya tidak ikut-ikutan anak lain yang shalatnya sambil main-main. kadang saya melirik ke belakang karena tergoda keasyikan anak-anak yang ngoceh dan bercanda melulu di sana.

teman saya, yopi, dan ganknya dari gang rajawali tak henti-hentinya bergurau. dorong sana dorong sini. mereka sebenarnya bukan orang pasundan. tapi gank rajawali cukup dekat juga ke aula pgri. padahal di rajawali ada masjid juga yang representatif. tapi rupanya mereka lebih senang taraweh di sini.

kalau menjelang rakaat terakhir, mereka buru-buru ikutan sholat lagi lebih khusyu dari mereka yang sholatnya serius. saya tahu, itu agar tidak kena damprat bapak-bapak atau aa-aa yang tadi mereka ganggu dengan keributan dan bercandaan. apalagi kalau sudah tahiyat akhir, suasana hening mereka ciptakan. saat salam sudah diucapkan imam dan bapak-bapak yang ada di dekat mereka melotot, mereka saling tuduh.

"kamu, ribut melulu...!"

"iya, ade nih..."

"nggak saya mah... tuh, si yayan....!"

begitulah. saat imam memulai shalat lagi, kembali mereka bercanda-canda. atau kalaupun tidak, shalatnya sambil duduk. saya yang berdiri pegal iri ingin ikut gaya shalat duduk itu. he he, padahal itu kan shalat khusus bagi mereka yang sakit atau tak kuat berdiri. tapi sepertinya enak sekali shalat sambil duduk.

untunglah, shalat taraweh berakhir juga malam itu. kalau dijalani sebelas rokaat memang tidak terasa apa-apa. apalagi kalau benar-benar khusyu, ikhlas, dan merasa nikmat melaksanakannya. tapi bagi anak-anak mungkin shalat taraweh lebih dinikmati ngumpul bareng temannya dan main-mainnya. ya, namanya juga anak-anak. tapi alangkah bagusnya kalau semenjak anak-anak itu mereka diperkenalkan lebih dahulu. para orang tua ada bagusnya mendampingi mereka agar tidak terlalu mengganggu orang yang memang berniat shalat.

"kalau mau bermain, gak usah shalat sekalian..!", kerap sekali orang yang terganggu shalatnya tak bisa menahan sabar. imam juga bukan sekali dua kali mengingatkan. tapi sekali lagi, anak-anak memang memandang shalat taraweh dengan cara yang berbeda. begitu sepertinya yang ada di benak yopi and the gank of rajawali.

ketika shalat beres dan waktunya pulang, maka jangan heran kalau sendal kita bertualang ke mana-mana. belum dikenal beberes sendal secara aa gym dan dt-nya waktu itu. menyimpan sendal sekenanya saja, berserakan di mana-mana. apalagi suasana luar cuma remang atau gelap sama sekali. bahkan tak jarang yang sandal jepitnya hilang atau tertukar. hampir tiap hari ada bapak-bapak yang pulangnya nyeker. saya sendiri pernah mengalami sekali peristiwa.

"sendalnya pake plastik, bawa ke dalam, agar tidak hilang lagi...", saran ibu saya. maka besok-besoknya hampir tiap orang yang shalat bawa keresek dan meletakkan sendalnya di belakang dengan keresek itu.

dan seperti lazimnya jaman sekarang, dulupun orang taraweh hanya rame awal-awalnya saja. pas lilikuran aula pgri kembali menjadi meluas karena orang-orang sudah jarang taraweh lagi. kamipun kadang tidak taraweh berjamaah. saya sering juga taraweh berdua dengan ayah di rumah. meskipun jumlah rakaatnya sama tapi taraweh di rumah lebih cepat karena selain bacaannya pendek-pendek juga tidak diselingi oleh ceramah kultum yang meski namanya kultum sering lebih dari tujuh menit.

bahkan di kali lain sering juga saya tidak taraweh sama sekali, hanya melaksanakan shalat isya saja, baik ketika di rumah ataupun di masjid. tidak apa-apa, kata saya. teman-teman saya saja banyak yang tidak taraweh. apalagi bapak juga tidak terlalu mempermasalahkannya saat itu. yang penting puasanya tidak batal.

sejak tk saya diajarkan berpuasa. hanya batal sekali waktu itu. kelas satu sd juga kalau tidak salah batal sekali. namun semenjak kelas dua hingga sekarang tak pernah batal sama sekali. alhamdulillah, puasa ramadhan telah menjadi darah daging yang mengalir dalam tubuh. alhamdulillah orang tua kami mengajarkan puasa semenjak dini meskipun saat itu hanya 'ibadah kasarnya' saja yang diajarkan. dan kini saatnya kami mencari sendiri makna yang lebih dalam dari sekedar menahan makan dan minum saja. dan masih terus mencari hingga kini. belajar dan terus belajar.

***