Senin, 20 September 2010

derita jiwa


derita jiwa

*
aku hadir kini, menghadapi pagi
menatap sisa bintang malam tadi
berdegup dada mendengar nada
menjeritkan derita jiwa
hati merasa, batin bertanya
tentang takdirku sebagai manusia

sering kurasakan isyarat alam
namun tak kutahu apa maknanya
seakan berjalan, di dalam gelap
aku inginkan sinar lentera
untuk jalanku, untuk hidupku
agar jelaslah masa depanku

masa depanku masih kelabu
hari depanku, belum kutahu
bosan dan resah menghantuiku,
oh, oh, oh, menghantui hidupku

kembali ke *

***

saya selalu kangen dengan lagu-lagu seperti ini, baik dari segi tema yang diangkat maupun aransemen musiknya. di tengah serbuan lagu-lagu bertema seragam dari band pop yang setiap minggu berdatangan seperti jamur di musim hujan, lagu 'derita jiwa' yang dilantunkan ahmad albar ini seperti mewakili segenap rasa akan lirik yang berisi dan musik yang berkualitas.

saya pertama kali menemukannya di kaset 'art rock' semasa smp dengan hits 'syair kehidupan'. yang dijual memang ahmad albar yang sudah diakui keeksisannya. tetapi nama lain juga berkontribusi besar di album itu yakni ian antono dan areng widodo. kedua musisi itu menyumbangkan karya-karyanya di album yang memuat 'panggung sandiwara' versi ahmad albar. sementara itu, anak asuh ian antono lainnya, nicky astria, sepertinya mengisi bagian backing vocal di beberapa lagu.

'art rock' sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah genre rock tersendiri. dan lagu-lagu di album ini bisa dikatakan bergenre 'art rock'. grup-grup luar semacam pink floyd, rush, dan yes, konon adalah biangnya art rock. namun menurut saya, art rock yang ditawarkan ian antono dan kawan-kawan termasuk sederhana. berbeda dengan band-band art rock masa itu yang lagunya panjang-panjang dengan penuh improvisasi terutama untuk instrumen keyboard, maka art rock versi ahmad albar ini termasuk sederhana dan ringan.

apapun namanya, keseluruhan lagu di kaset yang kini sudah langka ini enak didengar. hampir semua tema menyentuh sisi humanisme dan bersifat universal. hampir setiap komposisi lagu yang ada menawarkan perenungan yang mendalam. dan 'derita jiwa' adalah salah satunya. musiknya sendiri memang lebih mengarah ke rock 70-an ketika musik rock sedang berkembang dengan berbagai variasi genrenya. lagu-lagu yang ada di album ini 'disinyalir' telah berkumandang semenjak tahun 80-an ke bawah meskipun saat itu, kelas dua smp, tahun 90-an awal saya menikmatinya. lagu 'panggung sandiwara' sendiri setelah ditelusuri ternyata ada versi yang lebih jadulnya yang dinyanyikan oleh duo kribo di era 70-an. setelah itu ahmad albar dan nicky astria melantunkannya dengan gaya sendiri dan keduanya sukses sehingga versi siapapun yang menyanyikannya memiliki daya tarik dan kekuatan sendiri. mungkin memang lagunya sendiri sudah memiliki magnet bagi pendengarnya karena ternyata ketika almarhumah nike ardila menyanyikan kembali masih tetap nyaman di telinga kita. lirik panggung sandiwara yang di rangkai oleh penyair taufik ismail memang sudah kuat dengan makna-makna penuh filosofis.

makanya ketika akhirnya menemukan kaset ini dalam bentuk digital mp3 full album saya melonjak kegirangan. apalagi kaset yang dulu saya beli second di jaman smp itu telah raib entah ke mana setelah berpindah tangan dari satu teman ke teman lainnya. biasalah, tradisi jaman dulu di sekolah salah satunya dalah bertukar pinjam kaset. kalau dulu hanya mendengarkan lagu-lagunya sembari menghafal buat ulangan ekonomi besok hari lalu tertidur setelahnya, kini mendengarkannya sambil menulis sesuatu semacam resensi atau diari yang mungkin hanya bisa dipahami oleh diri sendiri. sesekali terhenti kalau di satu lagu menemukan sesuatu yang rasanya baru. kemudian kembali meneruskan memelototi layar monitor tanpa hirau bahwa tengah malam telah merangsek menjadi pagi. lalu, kalau tidak tidur dengan tergesa, keluar rumah menatap ke langit kalau-kalau masih ada sisa bintang malam tadi.

sementara itu saya masih tetap memimpikan akan ada musisi baru yang mengikuti jejak 'art rock' dan membuat lagu-lagu berkualitas dengan tema-tema yang lebih universal dan lirik yang tidak seadanya.



Rabu, 01 September 2010

fail, just fail

di perhentian ini. gagal. dan mencoba biasa saja tanpa merasa perlu menghibur diri dengan kata-kata peredam luka 'keberhasilan yang tertunda' atau semacamnya. hanya bisa memaksakan diri menikmati kegagalan ini dan kembali mendaki gunung, menyepi, menghindari tatap mata mempertanyakan. dan sebagian yang menertawakan.

dan masih juga bernafas lega karena telah tunai sebuah tugas. setelah sekian lama menyibak alang-alang, meneliti jejak, sengat panas matahari, melawan frustasi, dan mencoba bertahan dengan bekal dan air mineral yang tinggal seperempat sementara tujuan masih jauh di horizon. juga masih ada sedikit harga diri karena tidak sampai menyerah terlebih dahulu meski rupa-rupa goda dan rayu di telinga adalah balik kanan atau mengibarkan bendera putih. atau bunuh diri.

inilah saat yang tepat untuk menunduk ke bawah lebih dalam lagi. memperhatikan lebih seksama terhadap kerikil tajam dan duri yang menyilang jalan. juga menengok ke belakang. mengingat persimpangan terakhir yang dilalui. andaikan ada 'save as', tapi tak mungkin karena di dunia nyata hanya ada 'save' saja. lalu, bismillah, kembali melangkah dari titik persimpangan meski masih juga dipenuhi kekhawatiran. tapi tetap harus memilih satu jalan dan merasai segala kemungkinan.

lalu bersiap lagi dengan ketegangan dan rasa penasaran tentang apa yang akan ditemui selanjutnya. berdoa dalam harapan dan cemas sambil memperbarui nafas. tapi kini menggeserkan kakinya lebih berhati-hati dari sebelumnya. musuh dari dalam dan luar masih tetap mengikuti, mencari celah agar kita jatuh dan terpuruk lagi. karenanya terus saja berjalan dan abai semua bisikan yang akan membuat langkah tertahan.

hingga akhirnya tiba lagi di perhentian. mungkin berhasil. mungkin gagal. kalaupun gagal lagi, itu hanyalah gagal. just fail.again.