Senin, 09 Maret 2009

Neighbor

Tinggal di lingkungan kompleks ternyata banyak suka dukanya. Ya, menjalani kehidupan sehari-hari di perumahan dan di perkampungan atau perkotaan biasa memiliki banyak perbedaan. Diriku yang nota bene lama tinggal di perkotaan kecil cukup kaget ketika setelah menikah tinggal di sebuah perumahan kelas menengah. Meskipun tetangga kiri kanan cukup hangat, seperti halnya di tempat tinggalku dulu, namun di balik itu ada sisi-sisi negative yang kualami. Syukurlah, sampai saat ini kehidupanku dan keluargaku cukup cuek dengan hal-hal tersebut.

Sisi-sisi negatif yang kumaksud adalah perilaku tetangga yang kadang sering membuat panas telinga dan menjadikan hati kita membusuk. Yang paling kuamati adalah hobi para tetangga untuk menggosip. Apa saja digosipkan. Akupun dan keluarga tak luput jadi bahan gossip. Meskipun aku tak terlalu ambil pusing namun hal ini cukup mengganggu bagi keluargaku.

Seperti kemarin, tatkala kedua mertuaku pulang kampung untuk suatu urusan penting dalam jangka waktu agak lama. Ternyata ada tetangga yang merasa ‘terganggu’ dan melontarkan gossip ini itu. Dikatakan bahwa kedua mertuaku (ortu istriku) tidak perhatian terhadap istriku yang kebetulan sedang hamil tua. Disebutkan pula bahwa kedua ortu istriku itu bersenang-senang di kampungnya dan sangat amat tega meninggalkan anak-anaknya termasuk aku dan istriku di rumah.

Kebetulan hal ini terlontar tepat di depan adik iparku dan beberapa tetangga di depan warung tempat biasa berjualan. Adik iparku yang tidak terima hal itu merasa sakit hati dan menceritakannya kepada kami. Kamipun sedikit nyeri hate digosipkan sedemikian rupa oleh tetangga tersebut. Padahal sepengetahuan kami, kami belum ada masalah apapun dengan mereka. Terlebih keluarga kami termasuk salah satu sesepuh dan bahkan disaudaratuakan oleh mereka

Dalam beberapa hal kebutuhan materi kami memang masih bergantung pada ortu kami dan juga masih tinggal serumah dengan mereka. Namun ini tidak berarti kami menyandarkan diri pada mereka sepenuhnya. Aku dan istriku bekerja meskipun hasilnya jauh dari kebutuhan. Aku masih bisa mengurus istriku meski seadanya. Dan aku bangga bisa menjaga dan merawat istriku yang sedang ‘dalam bulannya’ sejauh ini. Dan yang pasti aku tidak terima dengan pernyataan sang tetangga karena secara tidak langsung dia menuduh aku tidak becus menjaga istriku. Sedikit emosi sih pada saat itu. Duh sebegitunya.

Istriku apalagi. Sebagai salah seorang warga sini yang paham betul watak para tetangga dia ini amat geram dengan hal ini. Terlebih dia mengetahui bahwa di balik keramahan sang tetangga ini ada udang di balik bakwan. Istriku telah mengerti dan merasa bahwa tetangga yang satu ini sebenarnya keki sekali terhadap keluarga besar kami.

Menurutnya, sering kali keluarga sang tetangga melecehkan atau merendahkan keluarganya. Lalu istriku bercerita tentang anak-anak sang tetangga yang dulu ketika masih kecil-kecil sering mengolok adik-adik kami yang seumuran seperti membawa makanan mewah ke rumah kami dan memakannya di depan adik-adik tanpa bermaksud memberi sedikitpun. Juga ketika salah seorang dari anak tetangga ternyata kleptomania dan mencuri sesuatu barang milik kami. Yang paling menyakitkan adalah tidak diperbolehkannya kami mengambil buah mangga milik umum yang kebetulan terletak persis di depan rumahnya. Sementara daunnya kebanyakan berjatuhan di depan rumah kami. Dia dengan seenaknya beranggapan bahwa pohon tersebut adalah miliknya. Padahal semua orang di lingkungan kompleks kami tahu bahwa yang menanam pohontersebut adalah tetangga yang lain dan yang memelihara serta merawat pohon tersebut sehingga berbuah maksimal adalah ayah kami. Beberapa hari yang lalu adik iparku berniat mengambil buah mangga tersebut namun dengan tega sang tetangga mencegahnya.

Yang ajaib lagi adalah ketika memanen buah mangga tersebut. Istriku bercerita bahwa ayah kamilah yang disuruh memanjat dan mengambil buah mangga tersebut. Sementara sang tetangga menampani di bawah. Singkat cerita buah mangga tersebut sudah dipanen dan si tetangga memasukkannya ke karung. Karena dinyatakan milik warga maka ayah kami bermaksud membagikannya secara merata ke seluruh warga di lingkungan kami. Namun ternyata dengan licik tetangga tersebut malah membawa mangga-mangga maska untuk dirinya sendiri dan menyisakan beberapa untuk dibagikan. Padahal dia samasekali tidak berkontribusi terhadap pohon tersebut. Ayah hanya bisa mengelus dada saja dengan kejadian tersebut.

Begitupun ketika tahun ini pohon tersebut akan dipanen. Dengan sigap sang tetangga mengambil bagiannya secara berlebihan. Istriku yang sudah kesal dengan sikap ingin menang sendirinya itu mengambil beberapa buah mangga dan berkomentar pendek, ”kan milik bersama….!”.

Banyak kejelekan-kejelekan lainnya dari sang tetangga yang diungkapkan istriku kepadaku semenjak dulu hingga kini. Ini tentu saja bukan bermaksud ghibah, naudzubillahimindalik, tetapi sebagai bahan pelajaran saja. Seperti ketika sang tetangga dengan seenaknya menitipkan kendaraannya berupa sepeda motor di beranda rumah kami. Padahal rumah kami sudah begitu sempitnya. Pada saat itu kami hanya bisa diam saja. Di waktu lain sang tetangga sering menyindir istriku yang kebetulan baru diberi beberapa buah baju hamil dari mertuanya (orang tuaku). Entah iri entah apa, sang tetangga terus mencibir istriku sedemikian rupa. Syukurlah istriku orangnya cuekan. Malah istriku sering balik membalas secara halus. Memang sih tetangga yang model begini layak sekali-kali dikik balik.

Kalau boleh menyebutnya, tak satupun kiranya sikap kami kepada mereka yang mendatangkan sakit hati ataupun kerugian. Kami tetap menganggap anaknya yang notabene ketika masih kecil sering menghina adik-adik kami sebagai saudara kami. Kami sering menasehatinya secara baik-baik serta memberikan motivasi di saat dia sedang berkonflik dengan kedua ortunya. Kamipun memberikan bantuan ketika salah satu anaknya menikah. Bahkan ketika sang tetangga mau melahirkan dan membutuhkan darah, adik kamilah yang repot ke sana kemari. Aku dan istriku bahkan yang pertama kali menjenguknya di rumah sakit dan secara tulus mendoakan keselamatannya. Untuk anaknya yang lain kami juga sering menyenangkan hatinya misalnya dengan memberikan makanan dan berfoto-foto. Ya, Allah seseungguhnya kami tidak bermaksud takabur/ujub dengan penyebutan semua di atas.

Begitulah romantika hidup bertetangga yang kualami dan kurasakan setahunan ini, setelah aku berumah tangga dengan istriku. Namun sukanya pun tak kurang banyak. Seperti ada tetangga yang dengan sukarela meminjamkan kendaraannya kepada kami atau mengantar kami di saat kami membutuhkan. Ya, dukanya ada, sukanyapun pasti ada. Begitulah hidup. Begitulah bertetangga

Tidak ada komentar: