Selasa, 18 Agustus 2009

pintu 11, gitar baru ugun

dari rumahku ke sekolah tidaklah terlalu jauh. begitu juga dari sekolah ke rumahku. jarak rumahku ke sekolah kalau diibaratkan sama dengan jarak dari rumah eka ke sekolah. ya, memang agak jauh dikit karena rumah eka pada jaman itu agak-agak minggir meskipun masih di tarogong. setiap hari, aku berjalan kaki ke sekolah. by foot, kata eko jangkung mah. begitupun teman-temanku yang lainnya rata-rata jalan kaki ke sekolah. kecuali kalau cuaca tidak memungkinkan atau hampir-hampir terlambat, barulah mencari-cari becak atau kendaraan lain seperti angkot. tapi kalau naik angkot agak susah juga. soalnya masih tetap harus jalan kaki. kan gak ada angkot yang berhenti tepat depan sekolah.

begitupun pulang dari sekolah. by foot adalah pilihan utama meskipun harus melawan terik matahari siang-siang. tapi kalau udah terbiasa sepanas apapun dijalani saja. apalagi kalau pulangnya bareng teman lainnya. sambil ngobrol-ngobrol sambil bercanda-bercanda dengan tiada terasa sampai pula di rumah. kecuali kalo sedang hujan biasanya kami patungan naik becak. walaupun sering juga diledek, " kok, anak laki-laki naik becak?". beneran, naik becak bagi sebagian orang waktu itu identik dengan kendaraan anak perempuan. padahal tidak ada dalam UUD 45 nya anak laki-laki gak boleh naik beca. kan emansisapi....

pernah ada kejadian yang berhubungan dengan naik beca. ceritanya waktu kelas dua sepulang ebsem. tahu kan ebsem? ia adalah sejenis ujian akhir semester. singkatannya aja evaluasi belajar semester. kalau sekarang mah uas. nah, pas pulang ebsem sekitar jam satuan, turun hujan lebat. mulanya aku jalan kaki dengan ugun menentang hujan. buku yang cuma bawa sebiji dimasukkan ke dalam baju. biasanya bertiga sama ijo. cuma saat itu ijo ada perlu di sanggar pramuka sirung.

awalnya hujan gak besar, tapi pas di depan toko adidas jalan cikuray hujan membesar. jadilah kami berteduh dulu. berhubung perut lapar maka kami putuskan pulang dengan naik beca.
" mang, narik mang...!" kataku di tengah deras hujan pada satu-satunya mang becak yang saat itu juga sedang berteduh sambil merokok pahpir.
" mangga, mangga cep..!" jawabnya. pikirnya, ah jadi juga nih anak naik becak saya. ditungguin dari tadi juga.
" berapa mang ? " aku menanyakan tarip beca. takut uangnya gak ada.
" kemana, cep...?" tanya si mang lagi
" pasundan !"
" pasundannya sebelah mana?"
" gang kartini !"
" udah, tiga ratus aja..." si mang beca akhirnya menyebutkan tarip.
" kurangin dong mang...!" tawar aku, uangku gak cukup, bo. cuma tinggal dua ratus. ugun katanya uangnya udah abis. atau mungkin malahan dia gak bawa uang dari rumah karena hari ini ebsem bukannya belajar.
" udah pas cep... jalannya kan nanjak " ujar si mang beca keuekeuh dengan ketetapan harga yang diberikan
" kan anak sekolah, mang...." aku masih berusaha membujuk si mang becak. siapa tahu dengan alasan ini dia tergerak hatinya membawa aku dan ugun berpulang ke rumah.
" udah murah, cep... seorangnya kan seratus lima puluh " jawab si mang beca mencoba bertahan. malahan disertakannya itung-itungan matematika.
aku dan ugun berpandangan. are you thinking what i am thinking?
" bentar ya mang...." aku dan ugun agak menjauh dari si mang becak.
" udah, yan.... kamu ada sendiri !" kata ugun
" gak apa-apa...?" aku ragu-ragu
" iya, sok...."
aku menghampiri si mang lagi. " mang, seorangnya seratus mapuluh?"
" iya " jawab si mang cepat
" ya udah... saya aja yang naik. sendiri. seratus lima puluh kan?" usulku di antara harap dan cemas. lumayan kalu disetujui masih sisa gocap.
" ya, gak bisa cep.... tiga ratus teh udah paket..... gak bisa diseorang-seorang...!" jelas si mang becak. gak balik modal dong saya, begitu pikir si mang becak.
" yah.. si mang mah... gak jadi aja deh....!" kataku kembali le ugun yang cengar-cengir. ya, sebenarnya itu juga udah murah. biasanya tarip beca jaman itu di atas lima ratusan. ini mah karena ke pelajar aja. jadi murah. begitu si mang melanjutkan pikirannya.

dan aku sama ugunpun akhirnya kembali menunggu hujan reda sambil menahan lapar dan hanya bisa menatap si mang becak yang udah dapat penumpang seorang ibu-ibu.
" alun-alun mang, berapa ?" ujar si ibu berpayung abu-abu
" lima ratus..."
" iya, jadi... " si ibu langsung naik becak sembari menutup payungnya. si mang pun memutar becaknya, menutup depan becak dengan plastik bening dan sempat pula tersenyum penuh kemenangan pada aku dan ugun. kami cuma hokcay melihat kepergian si mang becak.

untunglah hujan beranjak mereda. daripada menahan lapar, mendingan hujan-hujanan aja. aku dan ugun pun menembus hujan yang mulai mereda. tak lupa berseru, " poison, okey poison !"

**

kini aku, ugun, ijo, tedi, dan yoga sedang bejalan dalam rangka pulang ke rumah. hari ini cuaca sedang panas jadi gak perlu naik beca ataupun angkot. biar ngirit dan uang jajan bisa ditabung buat beli sesuatu. ya, aku sedang merencanakan beli kaset bad english. kemarin dengar lagunya di radio pas sore-sore. eh enak juga. judulnya kalau gak salah 'when i see you smile'. harga kaset masih berkisah 6000 perak. makanya aku juga hari ini gak jajan di warung ibu ncus agar bisa ngumpulin uang. dihitung-hitung kalau nggak jajan seminggu bisa beli kaset. uang jajanku biasanya sehari memang cuma seribu atau kdang-kadang kurang dari itu.

aku tergerak ingin nabung karena katanya ugun udah bisa beli gitar sendiri dari menyisihkan uang jajan sehari-hari. dan nanti malam gitar itu mau dibawa ke basecamp buat genjrang-genjreng. bassist gue, diam-diam rajin nabung juga meskipun bass beneran belum kebeli. lumayan lah bisa kebeli gitar akustik.

yoga belok kanan di simpang siliwangi cikurai.
" nanti ke basecamp !!" teriaknya dari jauh. kebiasaan yoga emang tukang teriak-teriak kayak gitu.
" oke...!" balas kami. sementara kami memilih lurus. perjalanan masih sekitar sekilometeran lagi. seperti biasa bila ada pr matematika buat besok pasti kami berkumpul untuk mengerjakannya.

belajar bersama memang telah aku biasakan semenjak sd. dulu-dulu, ketika sd aku sering belajar bersama. hingga lahirlah geng kelas pertama. namanya mf gosen. anggotanya anak-anak yang rumahnya di sebelah utara sd ciledug. orang-orang kaler, istilahnya. anggotanya cuma berenam : aku, taher, ugun, ricky rikwanto, aa abdullah, dan yopi bharata. kadang-kadang anak perempuannya seperti uyang dan fini suka ikutan juga kalau ada tugas-tugas tertentu dari pak mumun, guru kelas enam kami. atau pak rahmat, guru kesenian.

hampir setiap hari kami belajar bersama. biasanya di rumah aa abdullah di gang psii ciledug. pilihan di rumah aa abdullah bukan tanpa alasan tapi memang beralasan. di rumah aa abdullah sering banyak makanan. ortunya bener-bener pengertian. selain itu rumah aa cukup luas serta si belakngnya ada kebon buah-buahan. kami sering ngerujak di sana. tiap belajar bersama pasti ngerujak. jadinya ngerujak adalah salah satu motivasi kami belajar.

sekarang setelah smp kebiasaan baik itu masih terpelihara. belajar bersama meskipun tanpa rujak dan hanya air putih dingin dari botol bekas orson. mengerjakan pr matematika bu marni, sambil mendengarkan kiriman lagu-lagu dari radio, dan biasanya diakhiri main gitar. belajar lagu-lagu baru. yang belum bisa, sedikit-sedikit jadi bisa. yang udah bisa sekalian melancarkan. namun dari belajar bersama ini tidak otomatis semuanya pinter. selebihnya tergantung dari usaha masing-masing di kelas jika ada ulangan. maksudnya usaha nyontek masing-masing, he he.

dan, ssttt..... dalam hal teknik mencontek. yogalah yang paling jago. bisanya dia melipat kertas kecil-kecil. lalu dituliskan segala bentuk rumus, uraian dan sebagainya yang berhubungan dengan materi ulangan di sana. yogapun menuliskannya kecil-kecil. alhamdulillah, ilmu dari yoga ini aku amalkan hingga kuliah. nuhun nya ga.... cuma anehnya meskipun nyonteknya giat, ranking yoga tetep aja menengah ke bawah. apa yoga nyonteknya juga salah?

" yan, kemping ke citiis kayaknya jadi, mau ikut ?" sembari jalan ijo membuka forum.
" siapa aja, jo?" tanya aku, teringat ajakan ijo dulu saat napak tilas yang hancur berat.
" baru aku saja...." sahut ijo
" yaaah, itu mah namanya pingin ditemenin...tapi, ayolah..!" jawabku, tertarik juga adventure-adventur an lagi.
" ajak aja anak-anak thinker....!" usul ijo.
" iya, gimana gun, ted mau ikut?" ajak aku ke ugun dan tedi.
ugun mengangguk. tedi menggeleng, "... saya mah gak bisa" ujarnya.
ijo kelihatan senang rencananya mendaki gunung guntur bakal kesampaian lagi dalam beberapa pekan ke depan.

kami terus berjalan. menyebrang di simpang cikuray ranggalawe. berjalan lagi. sempat memelankan langkah di depan mie baso 'doi'. lumayan harumnya kuah mie dengan bumbu-bumbu khas mampir di hidung. buntutnya perut tambah lapar. ah sebentar lagi juga nyampe teman-teman, ayo !ayo ! lantas menyebrang lagi di simpang papandayan-cikuray- pasundan. agak hati-hati, jalannya cukup ramai dengan angkot berbagai jurusan. udah di jalan pasundan tambah dekat ke rumah masing-masing. tedi belok kiri di gang si ona maung.
" duluan ya....! dadah..."
tinggal bertiga. ugun belok kanan di depan rumahnya. "duluan yah, mampir dulu ?" katanya basa-basi. aku dan ijo menggeleng.
tinggal berdua.
sampai juga aku di depan rumah.
" 90 derajat yan....!" kata ijo
" apaan, jo...? sahutku gak ngerti
" maksudnya, kamu belok kanan.... aku lurus...!" jawabnya sembari memetakan tangan orang bersemapur.
" oh.... iya iya..." jawabku ngeh. ijo mungkin masih terkenang pelajaran tentang sudut menyudut dalam matematika. lalu digabung dengan jiwa pramukanya.

tinggal ijo sendiri, menyusuri jalan pasundan yang sedang panas-panasnya. sempat mengagumi fatamorgana yang terbentuk antara udara dan aspal jalan. di depan gang asrama keril ijo belok kiri. " min 90 derajat", katanya dalam hati. belok kanan lagi, " "90 derajat...." lanjutnya, masih di hati. dan di depan rumahnya, " min 90 derajat...!"udah jo, udah nyampe rumah ! makan...makan....

***

ada dua gitar malam itu. satu gitar bolong pinjaman yang biasa kami pakai. satu lagi gitar akustik baru punya ugun.
" berapa, harganya ?" itu yang pertama terlontar dari mulut anak-anak
" dua puluh...." jawab ugun bangga. ya, karena dialah yang pertama punya gitar sendiri di antara anak-anak thinker dan ijo-yoga. jadi wajar kalau bangga. harga-harga segitu dulu termasuk standar. gak mahal gak murah. disebut gak mahal karena mampu dibeli dan disebut gak murah, karena tidak mampu kami beli.....

namun demikian tetap aja kami kagum dengan gitar ugun yang mereknya entah apa itu. aku juga nggak peduli mereknya apa. yang penting dengan adanya dua gitar, saat brifing latihan bisa lebih efektif dan nggak saling berebut dan nggak saling nunggu yang biasanya diiringi dengan lupa chord B minor. sekarang, minimal satu bisa buat memelodian satu lagi bisa buat bas-basan. sementara buat drum, opik masih harus berpantomim sama acapelaan.

sehabis ngerjain matematika buat besok, gitar lebih dipilih. sementara radio udah dimaitiin. aku, yoga, ijo, dan opik sedang mengamat-amati gitar warna coklat tua milik ugun

" belum disetem, yan...!" kata ugun sambil menyerahkan gitar barunya.
" ah, mudah atuh nyetem gitar mah..." ujarku, mengambil gitar ugun dan memetiknya pelan. fals abis.
" E, pik ! " suruhku ke opik yang sedang genjrang-genjreng sekenanya dengan gitar lama.
" nih, gun...!" opik malah menyerahkan gitar itu ke ugun. he he udah lama main gitar masih bingung juga nama-nama nada senar gitar. opik memang cuma seorang drummer pemula yang baru bisa alat musik drum dengan anggota keluarganya yakni big bas, snare, hihat, simbal dan tomtom. dan di drum gak ada nada-nadanya, gak ada kunci-kuncinya. paling ketukan dua satu dua.
" E gun, E atas...."
Ugunpun memetik satu senar paling atas di gitar lama. dem...dem...dem... aku memetik dan memutar alat pemutar senar di ujung gitar ugun. nah sudah sama.
" A, gun..." suruh aku ke ugun. maksudnya nada A
dem...demmm..dem.... sama juga.
senar ketiga, D. dem dem dem... akur. senar keempat, G, agak susah. ting ting ting... akur. senar kelima. agak keras.
" hati-hati yan, nanti putus..." opik ngingetin sambil sedikit menjauh. anak-anak lainnya yang tadi asyuk melihatku menyetem gitar juga mengungsi.
" nggak, lah...ketakutan amat.... " sahutkku enteng. sementara ugun agak menjauh sambil memetik nada B, senar kedua dari bawah.
ting..ting..ting, agak susah uy... nah, akur juga.
" terakhir, E... paling bawah"
ugun memetik nada E bawah, nada paling tinggi. ting...ting...ting... wah keras sekali. susah pisan. berat. senar merentang tegang.
" udah, yan....hampir putus...!" opik kembali berseru. semakin mengungsi dia.
" nggak apa-apa...., masih belum akur !" kataku sembari terus memutar putaran senar di ujung gitar. ting..ting...ting... sedikit lagi. terus kuputar hingga...
" tes...!! "
senar kawat nada E akhirnya putus juga karena terlampau tegang.
" tuh kan,.... kataku juga apa?" opik berujar. sementara aku hanya bisa bengong. kok putus ya? untung gak melukai tangan atau apapun. gak enak juga kepada ugun yang menatap senar gitar barunya yang udah putus. padahal belum dicoba satu lagupun.
" nggak apa-apalah.... besok beli senarnya..." kata ugun pasrah. sedikit kilat kecewa di matanya.
" he he... kuganti besok... gun" kataku gak enak juga gitar baru ugun udah berantakan
" gak apa-apa.... cuma senar ini...." tukas ugun menatap sedih gitar barunya
" sok atuh langsung nyanyi..." seru yoga memecah suasana nggak enak di samping udah enggak sabar ingin melihat 'ditingker' ngeband.

aku dan ugun tukaran gitar. aku memainkan melodi. ugun bas-basan dengan senar yang tersisa. "don't cry, ...." kataku. lalu mengalunlah don't cry versi akustik plus drum acapela dengan bagian reff versi koor termasuk vokal tambahan ijo dan yoga. cuma bagian reff inilah yang dihafal mereka berdua.

" don't you cry...tonight... i still love you baby...."

terus saja....sampai malam. sampai jam sembilan lebih dikit. sampai jalanan pasundan mulai sepi. sampai saatnya pulang. kamipun bubar.

don't cry, ya gun... senar gitarnya besok kuganti... suer

Tidak ada komentar: